Jumat, September 26, 2014

Antara bahagia dan miris

"Pak, aku ntar ga ikut ekstra ya,,"
"Kenapa mas?
"Aku mau nonton bola di stadion"
"Waduh,, ntar gimana dong ekstranya?"
"Ga papa pak, cuma sekali ini"

Jawaban siswa ini sedikit membuat saya tercenung untuk sesaat. Begitu besarnya efek dari sepak bola terhadap seorang siswa. Berhenti di sini, sebagai seorang yang juga menggemari bola, saya bahagia. Alhamdulillah,, ternyata sekarang sepak bola adalah milik semua orang, minimal untuk anak - anak. Dan fenomena ini ternyata tidak hanya pada satu dua siswa, namun banyak siswa saya yang rela meninggalkan aktivitasnya sekian kali dalam satu bulan untuk menonton sepak bola di stadion.
Benar - benar sesuatu yang luar biasa untuk saya.
Kemudian obrolan kami berlanjut,

"Mas, apa yang paling menarik dari pertandingan sepak bola di stadion?"
"Rame pak, asyik. banyak temennya. Ya emang ga begitu jelas sich, tapi asyik kalau gol. Apalagi menang. pawainya rame."
"Pawai? Di jalan raya gitu?"
"Iya pak,, kayak kampanye"
"Enak ya, mas? Eh, mas kalau nonton bola sama siapa? Bapak ya?"
"Engga pak, sama temen, naek motor dia, asyik wis"
deg.. waduh.. dalam hati
"Emang temenmu anak SMA?"
"Iya pak, tetangga"
"Owh, kirain, temen seangkatan kamu... Terus, apa lagi yang enak kalau nonton bola di stadion?"
"Berantemnya pak!!!"
hahhh????
"Iya pak, asyik. Apalagi kalau tribun timur penuh. Tapi pas kalah, ya berantem jadinya."
"Asyiknya di mana mas kalau berantem gitu?"
"Yo asyik to pak, apalagi kalau sama *** (menyebutkan tim sekota kami). Belum apa – apa aja bisa berantem duluan.”
Walahhhh...
Rasanya seperti dibanting setelah dibumbungkan tinggi ke atas langit. Rasa senang yang begitu tinggi terhadap sepak bola langsung dibenamkan dalam – dalam oleh jawaban siswa saya ini.
Saya cuma bisa diam, percakapan kami langsung saya ganti dengan pelajaran lagi. Karena saya bingung, apa lagi yang harus saya katakan pada siswa saya ini.
Saya yakin, tujuan dari diadakannya sepak bola adalah rasa kagum saya atas jawaban siswa saya sebelum rasa kecewa saya atas jawaban siswa saya. Namun, mungkin inilah yang terjadi. Inilah kenyataannya.
Anak – anak kecil, dibonceng dengan membawa slayer, bendera yang bertiang bambu, tanpa helm, dan naik motor yang suaranya naudzubillahimindzalik kerasnya.
Anak – anak kecil, secara langsung melihat ketidakdewasaan orang – orang yang “tua” di sekitarnya. Tidak dewasa dalam menyikapi kekalahan. Tidak dewasa dalam melihat orang yang sudah terlanjur dicap “lawan”.
Anak – anak kecil, secara langsung melihat keasyikan dari kekerasan, yang lagi – lagi dilakukan oleh para orang “tua” yang sama sekali tidak ada contoh baik di dalamnya.

Mari, kalau kita memang orang “tua” yang ada di sekitar anak – anak itu, minimal....
Berikanlah contoh yang baik...
Bagiamana menyikapi kekalahan
Bagaimana menyikapi tidak terwujudnya keinginan
Bagaimana bersabar dalam menyikapi keadaan yang terjadi
Bagaimana bersikap dan mematuhi peraturan lalu lintas..
Dan banyak lagi sikap baik yang bisa kita berikan pada anak – anak di sekitar kita....

Anak – anak kita berhak mendapatkan contoh yang paling baik untuk mereka, bukan contoh yang baik menurut kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar