Senin, September 29, 2014

Nilai itu tidak menakutkan

Besok pagi, siswa dan siswi saya akan melaksanakan ulangan sub tema 2 untuk tema 2 di kelas 5. Ulangan ketiga sebelum UTS yang besok diadakan pertengahan Oktober. Saya kira persiapan yang harus saya berikan kepada anak sudah cukup. Mulai dari catatan, contoh soal, dan latihan ulangan sudah saya berikan kepada anak. Kesemuanya sudah saya jadikan satu dalam map yang memang menjadi hak anak untuk menyimpannya. Sekaligus tentunya sebagai bahan evaluasi wali murid dalam melihat perkembangan putra - putrinya.
Mungkin untuk urusan nilai anak, itu saya serahkan pada persiapan anak itu sendiri. Namun kebetulan seorang wali murid baru saja menelepon saya, menanyakan tentang nilai anaknya. Dia tidak tahu anaknya mendapatkan nilai berapa di ulangan yang lalu.
Saya tertegun. Mendengar penuturan beliau. Sang anak ternyata malu ketika harus menyerahkan ulangan yang nilainya tidak baik. Mungkin takut katanya.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa komunikasi saya dan wali murid akan terputus jika anak bersikap seperti ini seterusnya.Seakan - akan nilai itu menjadi momok yang sangat besar. Padahal sebenarnya nilai tersebut akan menjadi acuan yang sangat penting untuk menentukan bantuan yang tepat bagi anak tersebut.
Contoh saja, di kurikulum tematik, satu kali ulangan anak akan mendapatkan minimal 5 muatan pelajaran yang digabungkan dalam satu sub tema.
Ambillah sebagai berikut,  seorang anak mendapatkan nilai seperti dalam tabel berikut dalam suatu ulangan sub tema
Bahasa Indonesia 60
Matematika 70
IPA 100
IPS 90
PPKn 85

Nilai di atas sangat mungkin dicapai anak, seorang anak mungkin tidak bisa menguasai seluruh muatan yang ada, namun dia mempunyai keunggulan di beberapa muatan dan membutuhkan bimbingan di beberapa muatan lainnya.
Hasil dari ulangan sub tema ini harus menjadi acuan bagi guru dan wali murid untuk memberikan bantuan kepada siswa pada muatan yang masih belum baik. Nantinya bimbingan itu dapat dilihat di ulangan sub tema berikutnya. Karena otomatis muatan tersebut juga akan selalu ada di setiap ulangan sub tema.

Menyikapi hal ini, seorang wali murid tidaklah perlu risau tentang nilai yang dicapai anak dalam suatu ulangan sub tema. Hanya, wali murid haruslah jeli dan tanggap untuk membantu kesulitan putra - putrinya. Hal ini dikarenakan sekarang wali murid dan wali kelas harus selalu bisa bertukar peran menjadi guru bagi seorang anak. Agar anak tersebut bisa mendapatkan prestasi yang terbaik.

Sabtu, September 27, 2014

Bimbel... Penting ga sich?

Saya, dan beberapa teman saya adalah pengurus sebuah rumah belajar di Yogyakarta. Saya baru selesai "rapat" di sebuah rumah makan untuk membahas strategi pelayanan kami satu semester ke depan. "Rapat" kami memang asyik.. yang penting makan... hasil rapat bisa dibahas setelah kenyang... heee..
Jauh sebelum semester baru di kurikulum 2013, saya sempat bertanya sembari berkelakar dengan teman - teman saya, apakah penting les itu? Karena kebetulan kami melayani tambahan belajar untuk siswa SD dan SMP. SD kan sekarang tematik. Bagaimana ngelesnya??
Menarik sekali, saya sangat menunggu bagaimana evolusi dari rumah - rumah belajar yang besar menyikapi perubahan kurikulum ini. Karena otomatis, pembelajaran yang diamanatkan di kurikulum ini sangat berbeda. Siswa banyak bergerak, banyak mencari sendiri, menyimpulkan sendiri, dan menganalisis permasalah yang ada.
Sedangkan selama ini siswa duduk, menerima pelajaran, mengerjakan latihan, kemudian ulangan. Ya,,, urutannya kurang lebih seperti itu. Saya sangat menunggu di mana rumah belajar akan mengambil porsinya dalam urutan itu. Dengan pembelajaran tematik, otomatis mata pelajaran dihapuskan. Hanya muatannya yang tersisa. Itupun tergabung dan bersatu dengan muatan yang lain.
Sebagai contoh sederhana dari pembelajaran yang saya lakukan di kelas 5.
Saya memberikan bacaan tentang pentingnya air. Di sana tersurat apa saja fungsi air, apa yang terjadi jika air tidak ada, apa saja sumber air, bagaimana cara merawat sumber air agar tetap lestari, dan bagaimana cara menggunakan air secara bijak. Terlihat bukan, bahwa bacaan yang tadinya melulu bermuatan Bahasa Indonesia sudah saya gabungkan dengan muatan IPA.
Bagaimana menilainya?
Gampang....
Saya membuat beberapa pertanyaan tentang bacaan tersebut. Kemudian meminta anak menjawabnya dengan jawaban singkat, sesuai dengan isi bacaan. Ini saya lakukan untuk menilai kemampuan memahami isi teks bacaan [ Bahasa Indonesia ]. Secara tidak langsung, kemudian saya mengajak anak- anak memahami lagi isi teks bacaan tersebut. Saya kemudian meminta anak menulis di buku tulis catatan tematiknya. Saya hanya akan menulis pointernya saja.

Sumber Air
Fungsi Air
Cara Menjaga Sumber Air agar Tidak Tercemar
Cara Menggunakan Air Secara Bijak
(semuanya ada di bacaan) anak tinggal memindahkannya.
Kemudian, saya tambah satu pointer lagi.
Perilaku yang Dapat Merusak Kelestarian Sumber Air

Pointer terakhir ini saya minta siswa saya mendiskusikan dengan teman sekelompoknya.
Selesai... anak secara langsung mendapatkan muatan IPA di sini. Anak secara langsung juga mempunyai catatan tentang Air.
Belum selesai di situ, saya kemudian mengambil botol minum anak, saya tuang air dari botol tersebut ke dalam gelas yang saya siapkan. Pertama saya penuhi gelas saya dengan air secara pelan. Saya meminta anak menghitung dengan hitungan seperti pemanasan di olahraga.
Setelah penuh, saya kembalikan air ke dalam botol anak, kemudian saya ulangi kegiatan mengisi gelas dengan air, namun kali ini lebih cepat.
Masuklah saya pada muatan MATEMATIKA, yaitu tentang debit air.

Heee...
Itulah yang saya lakukan di pembelajaran.
Kemudian. di rumah belajar, dimana mereka bisa masuk?
apakah mengulang pembelajaran yang saya lakukan di sekolah?
Apakah itu akan efektif, mengingat, anak tidak akan setiap hari les sedangkan pembelajaran setiap hari selalu berlanjut?
Atau mereka hanya akan berlatih soal terus menerus setiap kali les? Padahal anak sudah punya khusus buku latihan soal dari sekolah. 
Itu pikiran awam saya sich.
Memang seharusnya, anak itu selesai menyerap semua yang penting untuknya di sekolah. Setelah itu, di rumah, mereka mendapatkan PR yang sesuai. Mengerjakannya bersama orang tuanya saja. Kenapa bersama orang tuanya? Karena memang merekalah guru di rumah. Tidak perlu orang lain, cukup orang tuanya saja.
Anak jadi pinter, orang tua juga tambah pinter...

SO, masih pentingkah Bimbingan Belajar?

_ketika menulis ini, kami juga sebenarnya sedang bingung, bagaimana bimbel kami bisa membantu siswa - siswi bimbingan kami.
_heee

Jumat, September 26, 2014

Antara bahagia dan miris

"Pak, aku ntar ga ikut ekstra ya,,"
"Kenapa mas?
"Aku mau nonton bola di stadion"
"Waduh,, ntar gimana dong ekstranya?"
"Ga papa pak, cuma sekali ini"

Jawaban siswa ini sedikit membuat saya tercenung untuk sesaat. Begitu besarnya efek dari sepak bola terhadap seorang siswa. Berhenti di sini, sebagai seorang yang juga menggemari bola, saya bahagia. Alhamdulillah,, ternyata sekarang sepak bola adalah milik semua orang, minimal untuk anak - anak. Dan fenomena ini ternyata tidak hanya pada satu dua siswa, namun banyak siswa saya yang rela meninggalkan aktivitasnya sekian kali dalam satu bulan untuk menonton sepak bola di stadion.
Benar - benar sesuatu yang luar biasa untuk saya.
Kemudian obrolan kami berlanjut,

"Mas, apa yang paling menarik dari pertandingan sepak bola di stadion?"
"Rame pak, asyik. banyak temennya. Ya emang ga begitu jelas sich, tapi asyik kalau gol. Apalagi menang. pawainya rame."
"Pawai? Di jalan raya gitu?"
"Iya pak,, kayak kampanye"
"Enak ya, mas? Eh, mas kalau nonton bola sama siapa? Bapak ya?"
"Engga pak, sama temen, naek motor dia, asyik wis"
deg.. waduh.. dalam hati
"Emang temenmu anak SMA?"
"Iya pak, tetangga"
"Owh, kirain, temen seangkatan kamu... Terus, apa lagi yang enak kalau nonton bola di stadion?"
"Berantemnya pak!!!"
hahhh????
"Iya pak, asyik. Apalagi kalau tribun timur penuh. Tapi pas kalah, ya berantem jadinya."
"Asyiknya di mana mas kalau berantem gitu?"
"Yo asyik to pak, apalagi kalau sama *** (menyebutkan tim sekota kami). Belum apa – apa aja bisa berantem duluan.”
Walahhhh...
Rasanya seperti dibanting setelah dibumbungkan tinggi ke atas langit. Rasa senang yang begitu tinggi terhadap sepak bola langsung dibenamkan dalam – dalam oleh jawaban siswa saya ini.
Saya cuma bisa diam, percakapan kami langsung saya ganti dengan pelajaran lagi. Karena saya bingung, apa lagi yang harus saya katakan pada siswa saya ini.
Saya yakin, tujuan dari diadakannya sepak bola adalah rasa kagum saya atas jawaban siswa saya sebelum rasa kecewa saya atas jawaban siswa saya. Namun, mungkin inilah yang terjadi. Inilah kenyataannya.
Anak – anak kecil, dibonceng dengan membawa slayer, bendera yang bertiang bambu, tanpa helm, dan naik motor yang suaranya naudzubillahimindzalik kerasnya.
Anak – anak kecil, secara langsung melihat ketidakdewasaan orang – orang yang “tua” di sekitarnya. Tidak dewasa dalam menyikapi kekalahan. Tidak dewasa dalam melihat orang yang sudah terlanjur dicap “lawan”.
Anak – anak kecil, secara langsung melihat keasyikan dari kekerasan, yang lagi – lagi dilakukan oleh para orang “tua” yang sama sekali tidak ada contoh baik di dalamnya.

Mari, kalau kita memang orang “tua” yang ada di sekitar anak – anak itu, minimal....
Berikanlah contoh yang baik...
Bagiamana menyikapi kekalahan
Bagaimana menyikapi tidak terwujudnya keinginan
Bagaimana bersabar dalam menyikapi keadaan yang terjadi
Bagaimana bersikap dan mematuhi peraturan lalu lintas..
Dan banyak lagi sikap baik yang bisa kita berikan pada anak – anak di sekitar kita....

Anak – anak kita berhak mendapatkan contoh yang paling baik untuk mereka, bukan contoh yang baik menurut kita.