Kamis, April 23, 2015

Aku Berdosa jika Datang Terlambat

Sekolah saya memulai pelajaran pada pukul 07.30. Hal ini agak lain dibandingkan dengan sekolah negeri pada umumnya. Hal ini dikarenakan kesepakatan bersama antara pihak sekolah dan wali murid untuk kebersamaan. Kebanyakan guru kami bertempat tinggal agak jauh dari sekolah. Minimal butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah.
Menyikapi hal itu, saya tetap berusaha berangkat pukul 06.30 dan sampai di sekolah sekitar pukul 07.00. Jeda waktu kurang lebih setengah jam itu saya manfaatkan untuk kegiatan pribadi saya, seperti sholat dhuha dan membuat soal.
Hal yang membahagiakan bagi saya waktu berangkat adalah sambutan layaknya pejabat tinggi negara yang sedang melakukan kunjungan ke sebuah daerah. Siswa saya berderet di pinggir jalan, menundukkan badannya sambil berkata "Selamat pagi pak", "Selamat pagi pak guru baru", "Selamat pagi Pak Jati", dan lain sebagainya. Mungkin jika ditambah dengan sedikit properti seperti bendera dengan tongkat kecil di tangan setiap siswa saya akan menjadikan sambutan itu benar-benar ditujukan kepada para pejabat.
Sambutan seperti ini baru kali ini saya dapatkan. Sambutan yang begitu hangat dan bersahabat. Walaupun saya bekerja hampir 4 tahun di SD Muhammadiyah Sleman, namun kulturnya jauh berbeda. Ketika saya bekerja di SD Muhammadiyah Sleman, kami terbiasa menyalami dan menyambut siswa sejak pukul 06.15. Rasanya jauh berbeda. Rasa dihormati sebagai seorang guru jelas tercipta di sini.
Hehehee..
Situasi sesungguhnya yang terjadi setiap hari adalah sebagai berikut..
Hampir 80% siswa saya itu berjalan kaki ke sekolah. Jarak rumah mereka sekitar 1 km dari sekolah. Jalan yang hampir semuanya menanjak membuat badan mereka condong ke depan. Saya, dengan sepeda motor honda supra 125 saya pun tidak begitu bisa berjalan dengan cepat. Karena memang kondisi medan seperti itu. Dengan posisi saya yang berjalan pelan dan suara sepeda motor saya yang agak "mbrebet" di tanjakan membuat siswa saya dengan mudah mengenali gurunya yang akan lewat. Sehingga mereka tinggal menoleh dan menganggukkan kepala. Itulah sambutan hangat siswa saya tiap hari.

Satu hal yang menggugah hati saya.
Siswa saya berangkat tidak lebih siang dari saya. Mereka juga menempuh medan yang sama dengan saya. Untuk apa? Agar tidak terlambat datang ke sekolah. Agar bisa mengikuti pelajaran semenjak bel dibunyikan. Benar bukan?
Saya sebagai gurunya, merasa perlu untuk membayar jerih payah mereka.
Saya merasa sangat berdosa jika saya datang terlambat, dan mengecewakan mereka yang terlah berjalan jauh demi sebuah pertemuan dengan gurunya dan mendapatkan ilmu pagi itu.
Saya pun merasa kangen, jika saya harus melewatkan moment sambutan bak pejabat tinggi itu. Sambutan yang hangat, tanpa ada pengarahan, tanpa rencana. Semuanya serba otomatis, serba spontan. Justru spontanitas itulah yang membuat semuanya spesial
Saya hanya berharap, semoga saya bisa istiqomah datang tepat waktu. Tidak hanya sekarang, karena status saya sebagai CPNS yang masih dalam masa penilaian.
Aamiin

Rabu, April 22, 2015

Mencari Celah untuk [Bisa] Belajar

Saya pernah menulis tentang melawan keterbatasan sarana dan prasarana dengan kreativitas. Akhirnya saya mengalaminya sendiri di sekolah saya yang baru.
Di sekolah lama, saya bisa mendapatkan berlembar - lembar kertas buram, saya bisa menampilkan soal dengan slide power point dengan LCD di kelas saya, saya bisa mengkopi tanpa harus keluar dari sekolah dalam waktu yang singkat dan lain sebagainya.
Namun di sekolah saya yang baru, semuanya belum ada. Tidak ada LCD, tidak ada fotokopian yang dekat dengan sekolah, tidak ada kertas buram hanya untuk tempat menghitung.
Mungkin inilah yang terjadi di daerah pedalaman. Saya lebih bersyukur di tempat kami listrik sudah ada, jalan sudah beraspal, dan beberapa printer di sekolah yang siap digunakan. Sekolah saya berada di ketinggian 1.300 meter dpl. Jalan untuk sampai ke sekolah juga cukup berat. Ruang kelas kami berjumlah 3 dengan beberapa bagian yang sudah rusak. Namun apa yang harus diterima anak - anak saya harus sama dengan anak - anak yang lain. Mereka juga berhak mendapatkan latihan soal dan fasilitas yang didapatkan oleh anak - anak di sekolah kota.
Hal inilah yang membuat saya berpikir agak keras. Bagaimana memberikan SPM (Standar Pelayanan Minimal) kepada mereka. Beberapa hal sudah saya lakukan. Pertama, memberikan pelajaran di jeda waktu sebelum masuk. Saya berusaha untuk tidak terlambat. Setiap ada waktu, saya mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Tidak melulu hanya membahas pelajaran, namun juga mencoba menggali masalah - masalah yang mereka hadapi. Karena kebetulan belum ada guru BK yang seharusnya membidangi hal tersebut, saya merasa setiap guru di sini haruslah menjadi guru BK bagi mereka.
Kedua, Soal yang seharusnya dikopi untuk media latihan dirumah, saya coba untuk menulis di papan tulis dan beberapa juga saya print dalam ukuran kecil yang sudah saya edit. Soal - soal itu saya minta untuk dikerjakan. Khusus untuk soal yang diprint, saya minta anak untuk menempelkannya di buku mereka. Agar punya arsip soal.
Ketiga, memberikan PR setiap hari. Kultur budaya di sekolah baru saya tidak begitu mendukung pembelajaran di luar sekolah. Anak - anak harus bekerja membantu orang tuanya di ladang dan terkadang membuat mereka jenuh untuk kembali belajar di malam hari. Namun mereka mengakui, ketika ada PR, mereka lebih semangat belajar. Celah itulah yang saya ambil, saya memberikan fasilitas kepada mereka soal setiap hari. Boleh dikerjakan di sekolah, boleh dikerjakan secara kelompok di rumah, atau dikerjakan dan dikumpulkan sebagai nilai pekerjaan rumah. Dengan cara tersebut mereka lebih terjadwal utuk belajar.
Keempat, mengenalkan manfaat dari internet. Walaupun berada di daerah pedalaman, ternyata siswa saya mempunyai fasilitas komunikasi berupa handphone yang cukup baik. Dari sanalah saya mengajak anak - anak untuk menggunakan fasilitas itu dalam pembelajaran. Saya memberikan beberapa situs yang bisa mereka kunjungi. Tidak hanya tentang matematika, namun semua informasi yang bisa mereka dapatkan dari internet itu.
Beberapa langkah ini memberikan kontribusi yang positif. Mereka lebih bisa mengatur jadwal belajar dan belajar dengan apa yang mereka miliki.
Saya mencoba untuk tidak mengeluh dengan apa yang ada di sekolah, karena mengeluhpun tidak akan mengubah apapun. Saya coba cari celah, dimana saya bisa masuk dan memberikan manfaat bagi siswa saya.
Saya berfikir simpel.
Siswa saya berhak untuk belajar.
Siswa saya juga berhak untuk jadi Menteri, bahkan Presiden.
Semoga usaha ini ada hasilnya.

Belajar dari Kehidupan

Bismillah,
Alhamdulillah, saya termasuk salah satu CPNS formasi umum Kabupaten Temanggung tahun 2014. Saya ditempatkan di SMP Negeri 2 Wonoboyo Satu Atap.
Kebetulan saya tadi sowan ke tempat pak kepala desa Cemoro, tempat sekolah kami berada dan kami membicarakan beberapa hal.
Salah satu yang menjadi bahan obrolan kami adalah tentang kondisi siswa dan orang tuanya. Saya banyak tersenyum dan mengamini apa yang beliau sampaikan. Kondisi pegunungan membuat orang tua wali banyak bekerja di ladang. Mereka menanam berbagai jenis sayuran dan tanaman. Tidak banyak jenis pekerjaan yang bisa mereka lakukan, karena sebagian besar wali murid mengenyam pendidikan sampai SMP.
Hal yang menarik di sini adalah menikah. Banyak sekali anak yang telah lulus SMP kemudian langsung dinikahkan. Terutama siswi putri. Ketika saya tanya siswa saya kelas IX, ternyata 2 orang siswi saya sudah siap untuk menikah, dan satu orang siswa saya sudah siap menikah setelah lulus. Catatannya adalah siswa saya ini sudah berusia 21 tahun dan masih duduk di bangku kelas IX.
Memang hal ini menjadi lumrah di sini. Tidak ada yang bisa disalahkan dengan hal ini. Menariknya hal ini membuat saya meniadakan pelajaran Matematika hari ini untuk memberikan mereka sebuah pandangan tentang hidup. Saya memberikan motivasi kepada mereka ditengah perjuangan mereka untuk menghadapi UN yang tinggal seminggu lagi. Saya memberikan beberapa contoh orang - orang yang sukses tanpa sekolah (8 dari anak kelas IX di sekolah kami berencana untuk tidak melanjutkan studi karena kondisi ekonomi). Beberapa nama saya sebutkan untuk kemudian mereka ambil hikmahnya.
Antusias mereka dalam mendengarkan membuat dua jam pelajaran terasa sempit dan tidak cukup untuk membeberkan seluruhnya. Namun alhamdulillah, siswa saya yang tidak melanjutkan ke SMA/STM/SMK menjadi lebih siap. Siswa saya yang akan menikahpun juga semoga lebih siap. Yang terpenting adalah anak - anak yang tidak akan melanjutkan ke sekolah lagi. Saya katakan, seandainya kalian tidak bersekolah lagi setelah SMP ini nanti, mari bersama - sama buat UN ini jadi menyenangkan. Karena pasti mereka tidak akan memikirkan untuk mencapai nilai terbaik dalam UN. Buat apa? Karena nilai UN tidak memberikan manfaat ketika mereka berada di ladang atau menjadi kernet angkutan desa. Nilai UN yang buruk pun tidak akan menghalangi mereka untuk menunda pernikahan yang telah mereka siapkan.
Poin kedua yang saya sampaikan adalah bahwa banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan walaupun hanya tamat SMP. Saya ambil cerita tentang Jim Geovedi dan Bob Sadino. Apa yang mereka lakukan, dan apa yang mereka dapat. Luar biasa. Satu hal yang mereka katakan dan membuat saya merinding.
"Pak, banyak lho yang bilang pada saya untuk tidak sekolah dengan embel - embel kerja di ladang saja, ikut bapak narik angkot saja, ikut ibu kerja di pasar saja. Sejujurnya saya malu, tidak bisa sekolah, walaupun memang keadaan yang membuat itu semua. Tapi baru kali ini saya merasakan sebuah semangat untuk menjalani itu semua. Saya merasa terbantu. Entah jadi apa saya nanti, tapi saya sudah siap. Yang terbaik buat saya adalah yang diberikan Tuhan dan sudah diatur dalam takdirnya ini, terima kasih pak".
Wow, jawaban itu adalah jawaban beberapa anak, yang saya rangkum menjadi satu. Luar biasa bukan?
Mungkin mereka bukanlah anak - anak yang pandai, mereka bukanlah anak - anak yang kaya, yang serba kecukupan. Mereka adalah anak - anak yang mencoba untuk bertahan atas keadaan yang ada dan berjuang untuk membuat keadaan yang lebih baik.
Saya sangat tidak merasa bersalah menghilangkan pelajaran saya hari ini, karena pelajaran yang paling baik menurut saya adalah bekal pelajaran untuk hidup. Hidup yang lebih baik.
Semoga, suatu saat nanti, ada siswa saya dari SMP Negeri Wonoboyo Satu Atap yang akan kembali ke desa Cemoro ini untuk menceritakan keberhasilan mereka dalam berjuang dan bertahan hidup.
Aamiin