Pelajaran 1
Dua atau tiga hari setelah UN SMP, dua siswa saya namanya Kirman dan Rio Hadi Mido datang ke sekolah untuk meminta hasil UN yang baru saja selesai. Kami di ruang guru terkekeh. Mana ada hasil UN secepat itu.
Minimal sebulan. Kami berkaca pada UN SMA yang belum juga keluar hasilnya.
Namun di balik semua itu, kami bahagia. Dua anak ini dulunya tidak akan melanjutkan ke SMA. Mereka minta hasil UN juga sebagai syarat mendaftar ke SMA. Padahal pendaftaran baru akan dibuka tanggal 23 Juni.
Mereka takut orang tua mereka berubah pikiran.
**
Mundur beberapa hari dari hari itu, saya bersama anak - anak menginap di sekolah untuk persiapan menghadapi UN. Ketika belajar malam terakhir. Sebelum UN IPA di hari Kamis. Saya mengobrol dengan 4 orang siswi yang sedang belajar IPA.
Saya berkata ayo semangat. Tinggal sehari UN, kemudian silahkan kalian liburan sampai pengumuman nanti.
Robi Listiyani, salah satu siswa saya berkata : "Iya pak, tinggal sehari belajarnya. setelah itu dah ga usah belajar lagi to. Pokoknya harus dibuat menyenangkan".
Saya tertegun. Kata "menyenangkan" itu saya masih ingat betul. Saya juga berkata seperti itu, 2 minggu sebelum UN dilaksanakan. Karena banyak siswa yang tidak melanjutkan ke SMA.
"Pak, kami ini berempat pengen sekolah, tapi ga ada biaya. Orang tua kami juga tidak mau membiayai. Karena di sini ga ada SMA. harus turun jauh ke kota. Biayanya besar. Kami disuruh bantu di ladang saja", kata seorang yang lain. Entah itu Watiah atau Robiyati.
Saya ingat, saya cuma bisa tertegun waktu itu.
Tidak tahu awal mulanya, saya berkata
"Kalian mau menikah kalau lulus SMP? Besok kalau kalian menikah, minta sama suami kalian, untuk membiayai kalian ikut kejar paket C. Minimal setara dengan SMA. kalian bisa ikut UN SMA itu. Insya Allah kalian nanti bisa lebih banyak dapat kerja".
"Trus, sekolahe karo nggendong anak ngonten pak?"
"Ga papa. banyak kok yang sudah bapak - bapak, ibu - ibu. isih do sekolah, Ya?"
Kami tertawa bersama.
"Mbak, ada ga orang tua kalian yang lulus SMP? (Semuanya menggeleng). Nah, berarti kalian lebih baik dari orang tua kalian. Kalian bisa lulus sampai SMP"
"Kalian tahu pentingnya sekolah. Suatu saat nanti, kalau kalian mempunyai anak. Minimal harus lebih baik dari kalian. Harus lulus SMA. ya? biar kalian bisa bangga. Dalam hati orang tua kalian juga seperti itu sekarang. Alhamdulillah, anakku wis arep lulus SMP, padahal aku ora sekolah opo mung lulusan SD. Ra percoyo? cobo takonono"
Mungkin sedih, ketika tahu ada orang di sekitar yang hanya berhenti sekolah karena masalah biaya. Dan langsung menyerah. Tidak bisa berbuat apa - apa. Karena mereka tidak ada yang mengarahkan.
Dua atau tiga hari setelah UN SMP, dua siswa saya namanya Kirman dan Rio Hadi Mido datang ke sekolah untuk meminta hasil UN yang baru saja selesai. Kami di ruang guru terkekeh. Mana ada hasil UN secepat itu.
Minimal sebulan. Kami berkaca pada UN SMA yang belum juga keluar hasilnya.
Namun di balik semua itu, kami bahagia. Dua anak ini dulunya tidak akan melanjutkan ke SMA. Mereka minta hasil UN juga sebagai syarat mendaftar ke SMA. Padahal pendaftaran baru akan dibuka tanggal 23 Juni.
Mereka takut orang tua mereka berubah pikiran.
**
Mundur beberapa hari dari hari itu, saya bersama anak - anak menginap di sekolah untuk persiapan menghadapi UN. Ketika belajar malam terakhir. Sebelum UN IPA di hari Kamis. Saya mengobrol dengan 4 orang siswi yang sedang belajar IPA.
Saya berkata ayo semangat. Tinggal sehari UN, kemudian silahkan kalian liburan sampai pengumuman nanti.
Robi Listiyani, salah satu siswa saya berkata : "Iya pak, tinggal sehari belajarnya. setelah itu dah ga usah belajar lagi to. Pokoknya harus dibuat menyenangkan".
Saya tertegun. Kata "menyenangkan" itu saya masih ingat betul. Saya juga berkata seperti itu, 2 minggu sebelum UN dilaksanakan. Karena banyak siswa yang tidak melanjutkan ke SMA.
"Pak, kami ini berempat pengen sekolah, tapi ga ada biaya. Orang tua kami juga tidak mau membiayai. Karena di sini ga ada SMA. harus turun jauh ke kota. Biayanya besar. Kami disuruh bantu di ladang saja", kata seorang yang lain. Entah itu Watiah atau Robiyati.
Saya ingat, saya cuma bisa tertegun waktu itu.
Tidak tahu awal mulanya, saya berkata
"Kalian mau menikah kalau lulus SMP? Besok kalau kalian menikah, minta sama suami kalian, untuk membiayai kalian ikut kejar paket C. Minimal setara dengan SMA. kalian bisa ikut UN SMA itu. Insya Allah kalian nanti bisa lebih banyak dapat kerja".
"Trus, sekolahe karo nggendong anak ngonten pak?"
"Ga papa. banyak kok yang sudah bapak - bapak, ibu - ibu. isih do sekolah, Ya?"
Kami tertawa bersama.
"Mbak, ada ga orang tua kalian yang lulus SMP? (Semuanya menggeleng). Nah, berarti kalian lebih baik dari orang tua kalian. Kalian bisa lulus sampai SMP"
"Kalian tahu pentingnya sekolah. Suatu saat nanti, kalau kalian mempunyai anak. Minimal harus lebih baik dari kalian. Harus lulus SMA. ya? biar kalian bisa bangga. Dalam hati orang tua kalian juga seperti itu sekarang. Alhamdulillah, anakku wis arep lulus SMP, padahal aku ora sekolah opo mung lulusan SD. Ra percoyo? cobo takonono"
Mungkin sedih, ketika tahu ada orang di sekitar yang hanya berhenti sekolah karena masalah biaya. Dan langsung menyerah. Tidak bisa berbuat apa - apa. Karena mereka tidak ada yang mengarahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar