Saya pernah menulis tentang melawan keterbatasan sarana dan prasarana dengan kreativitas. Akhirnya saya mengalaminya sendiri di sekolah saya yang baru.
Di sekolah lama, saya bisa mendapatkan berlembar - lembar kertas buram, saya bisa menampilkan soal dengan slide power point dengan LCD di kelas saya, saya bisa mengkopi tanpa harus keluar dari sekolah dalam waktu yang singkat dan lain sebagainya.
Namun di sekolah saya yang baru, semuanya belum ada. Tidak ada LCD, tidak ada fotokopian yang dekat dengan sekolah, tidak ada kertas buram hanya untuk tempat menghitung.
Mungkin inilah yang terjadi di daerah pedalaman. Saya lebih bersyukur di tempat kami listrik sudah ada, jalan sudah beraspal, dan beberapa printer di sekolah yang siap digunakan. Sekolah saya berada di ketinggian 1.300 meter dpl. Jalan untuk sampai ke sekolah juga cukup berat. Ruang kelas kami berjumlah 3 dengan beberapa bagian yang sudah rusak. Namun apa yang harus diterima anak - anak saya harus sama dengan anak - anak yang lain. Mereka juga berhak mendapatkan latihan soal dan fasilitas yang didapatkan oleh anak - anak di sekolah kota.
Hal inilah yang membuat saya berpikir agak keras. Bagaimana memberikan SPM (Standar Pelayanan Minimal) kepada mereka. Beberapa hal sudah saya lakukan. Pertama, memberikan pelajaran di jeda waktu sebelum masuk. Saya berusaha untuk tidak terlambat. Setiap ada waktu, saya mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Tidak melulu hanya membahas pelajaran, namun juga mencoba menggali masalah - masalah yang mereka hadapi. Karena kebetulan belum ada guru BK yang seharusnya membidangi hal tersebut, saya merasa setiap guru di sini haruslah menjadi guru BK bagi mereka.
Kedua, Soal yang seharusnya dikopi untuk media latihan dirumah, saya coba untuk menulis di papan tulis dan beberapa juga saya print dalam ukuran kecil yang sudah saya edit. Soal - soal itu saya minta untuk dikerjakan. Khusus untuk soal yang diprint, saya minta anak untuk menempelkannya di buku mereka. Agar punya arsip soal.
Ketiga, memberikan PR setiap hari. Kultur budaya di sekolah baru saya tidak begitu mendukung pembelajaran di luar sekolah. Anak - anak harus bekerja membantu orang tuanya di ladang dan terkadang membuat mereka jenuh untuk kembali belajar di malam hari. Namun mereka mengakui, ketika ada PR, mereka lebih semangat belajar. Celah itulah yang saya ambil, saya memberikan fasilitas kepada mereka soal setiap hari. Boleh dikerjakan di sekolah, boleh dikerjakan secara kelompok di rumah, atau dikerjakan dan dikumpulkan sebagai nilai pekerjaan rumah. Dengan cara tersebut mereka lebih terjadwal utuk belajar.
Keempat, mengenalkan manfaat dari internet. Walaupun berada di daerah pedalaman, ternyata siswa saya mempunyai fasilitas komunikasi berupa handphone yang cukup baik. Dari sanalah saya mengajak anak - anak untuk menggunakan fasilitas itu dalam pembelajaran. Saya memberikan beberapa situs yang bisa mereka kunjungi. Tidak hanya tentang matematika, namun semua informasi yang bisa mereka dapatkan dari internet itu.
Beberapa langkah ini memberikan kontribusi yang positif. Mereka lebih bisa mengatur jadwal belajar dan belajar dengan apa yang mereka miliki.
Saya mencoba untuk tidak mengeluh dengan apa yang ada di sekolah, karena mengeluhpun tidak akan mengubah apapun. Saya coba cari celah, dimana saya bisa masuk dan memberikan manfaat bagi siswa saya.
Saya berfikir simpel.
Siswa saya berhak untuk belajar.
Siswa saya juga berhak untuk jadi Menteri, bahkan Presiden.
Semoga usaha ini ada hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar