Ujian Nasional, dihapus atau dipertahankan?
Sebuah refleksi (pertama) perkuliahan Filsafat Ilmu oleh
Prof. Dr. Marsigit.
Dalam perkuliahan filsafat ilmu
tanggal 17 Desember 2012, kami mahasiswa pendidikan matematika kelas A PPS UNY
2012 membahas tentang hakikat UN antara tanggapan UN pantas dipertahankan atau
harus dihapuskan berkaitan dengan direncakannya draft kurikulum 2013 untuk
diterapkan di Indonesia.
Sebuah kata yang menggelitik saya
dari apa yang disampaikan Prof adalah pendidikan sekarang adalah sebuah
kewajiban atau kesadaran? Saya mencoba menelaah dan memberikan tanggapan saya
atas hal tersebut.
Pendidikan sebagai kewajiban adalah
pendidikan yang minimalis dan sangat dangkal dengan bertumpu pada nilai. Salah satunya
adalah kelulusan yang didasarkan denan nilai UN. Yang sebenarnya adalah bentuk
dari pelanggaran demokrasi Pancasila. Karena dengan menggunakan nilai sebagai
acuan, maka esensi pengalaman, pemahaman, dan kemampuan anak tidak dapat terwakili.
Salah satunya dengan bentuk soal pilihan ganda yang sangat riskan dengan resiko
“keberuntungan”. Hal ini saya amini sebagai sebuah pelanggaran dalam demokrasi dan hak anak dalam melaksanakan pendidikan.
UN diselenggarakan dengan sebuah
doktrin bahwa UN adalah sebuah kewajiban bagi anak yang ingin lulus. Tanpa mengindahkan aspek bahwa UN dilakukan
sesuatu yang harus dilakukan secara sadar sebagai salah satu indikator untuk
menguji kemampuan siswa secara keseluruhan. UN juga telah memaksakan bahwa siswa wajib
menguasai indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan jarak yang cukup
maka guru secara leluasa memberikan repetisi atas indikator-indikator yang
telah ditentukan itu untuk “membiasakan” anak dengan soal-soal yang mungkin
keluar pada UN sesungguhnya.
Tentang “membiasa”nya anak ini
menurut saya adalah sesuatu yang mengerikan, salah satu indikator soal UN untuk
SD adalah siswa dapat menentukan volume tabung dari suatu gambar tabung yang ukurannya diketahui. Bagi saya ini mengerikan, siswa menjadi
terbiasa memahami bahwa tabung adalah sebuah gambar (yang terkadang tidak dapat
mewakili hakikat tabung) sehingga menyempitlah pemahaman tabung dalam pikiran
siswa.
Dengan
doktrin wajib tersebut jelaslah perlunya pembenahan tentang UN, baik secara
parsial maupun keseluruhan. Dengan tidak
mengurangi hormat saya terhadap para pengembang dan penyusun draft kurikulum
2013. Saya ingin membenarkan masukan dari Prof Marsigit tentang masukannya atas
draft tersebut. Bahwasanya diperlukannya sistem yang mengembangkan kesadaran
siswa tentang perlunya UN, tidak hanya mengajak siswa untuk mengetahui UN
adalah proses yang menjadi wajib bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi.
Saya
mendukung “PENGUBAHAN” UN menuju evaluasi yang lebih baik bagi adik-adik saya
di tingkat dasar dan menengah. Marilah kita menjadi arif, dan mencoba menggugah
kesadaran kita tentang segala sesuatu yang dialami oleh anak, adik, cucu, dan
buyut kita. Berkatalah jika memang sesuatu yang ada tersebut tidak pas untuk
mereka.
Tulisan
ini murni refleksi yang saya lakukan setelah mengikuti perkuliahan prof
Marsigit. Tidak mempunyai maksud untuk menyinggung, namun lebih menjadi masukan
bagi pendidikan Indonesia. Saya juga sangat menginginkan masukan dari seluruh
pembaca yang mungkin berkenan untuk berdiskusi tentang hal ini.
Terima
kasih