Salah satu
yang menarik bagi saya ketika perkuliahan bapak Prof. Marsigit pada hari Senin, 12 November
2012 adalah mengenai pendapat bapak tentang salah satu istilah dalam budaya Jawa yaitu kiblat papat limo pancer. Menurut yang saya bicarakan dengan salah
seorang teman saya yang memang mengerti tentang budaya jawa (kejawen) istilah
itu juga dikenal dengan sedulur papat limo pancer. Saya kemudian tertarik untuk
mengetahui lebih jauh tentang istilah tersebut. Sehingga hal tersebut saya
jadikan refleksi perkuliahan untuk minggu ini.
Orang jawa
tradisional percaya akan eksistensi
sedulur papat (saudara empat) yang selalu mendampingi seseorang di mana saja
dan kapan saja selama orang itu masih hidup. Mereka diberikan tugas untuk
menemani dan membantu kita. Adapun yang disebut sedulur papat adalah:
- KAKANG KAWAH: saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kita (bayi), tempatnya di timur warnanya putih (air ketuban).
- ADI ARI-ARI: adik ari-ari, dia keluar dari gua garba ibu setelah kita (bayi) , tempatnya di barat warnanya kuning (plasenta).
- GETIH: darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah.
- PUSER: pusar yang dipotong sesudah kelahiran kita (bayi), tempatnya di utara warnanya hitam.
Selain sedulur papat di atas, yang kelima
pancer itulah badan jasmani kita. Merekalah yang disebut sedulur papat kelima pancer, mereka ada karena
kita ada. Sementara orang mengatakan mereka kiblat papat lima tengah (empat
jurusan yang kelima di tengah). Mereka berlima di lahirkan melalui ibu. Ada yang
mengatakan bahwa dua dari keempat saudara kita (kakang kawah dan adi ari-ari)
adalah saudara yang berkorban agar kita bisa ada di dunia ini. Sehingga bagi
orang jawa ada perlakuan yang khusus untuk keduanya. Dalam kebudayaan jawa, dua
saudara tersebut juga bersedia membantu kita jika kita memintanya dengan
melakukan ritual-ritual khusus, seperti puasa mutih, tapa brata, dan menyepi.
Dalam pemikiran Jawa pengertian sedulur
papat limo pancer mempunyai pengertian yang terus berkembang dari zaman
pra-Islam hingga zaman Islam. Pengertian ini sebenarnya berkembang dengan
adanya pengaruh agama Hindu. Sedulur papat dimaknai sebagai empat kiblat juga
kemudian dimaknai sebagai unsur alam yang menjadi pembentuk raga manusia. Empat
unsur tersebut adalah tanah (bumi), air, api, dan angin (udara). Sedang limo
pancer adalah diri manusia itu sendiri. Ketika penyebaran agama Islam mulai
masuk, menurut sebuah cerita Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan pengertian baru
yang lebih bernafaskan Islam, sedulur papat adalah empat jenis nafsu dasar
manusia, yaitu nafsu aluamah, sufiyah, amarah dan muthmainah. Limo pancer
adalah hati nurani atau “alam rahsa/sirr”.
Nafsu aluamah berkaitan dengan
insting dasar manusia, seperti nafsu untuk makan, minum, berpakaian,
berhubungan badan dll. Dikatakan aluamah karena pengaruh unsur tanah yang
menjadi unsur dasar manusia. Nafsu sufiyah berkaitan dengan nafsu keduniawian
seperti keinginan akan harta benda. Nafsu sufiyah berpadanan dengan sifat udara
yang selalu berusaha memenuhi ruang selagi ruang tersebut masih kosong. Nafsu
amarah berkaitan dengan harga diri, rasa marah (emosi). Nafsu ini berkaitan
dengan sifat panas dari api yang juga menjadi salah satu unsur pembentuk jasad
manusia. Nafsu muthmainah adalah nafsu yang mengajak untuk berbuat kebaikan. Nafsu
muthmainah berhubungan dengan sifat air yang menjadi unsur utama pembentuk
jasad manusia.
Sebenarnya masih banyak pengertian
mengenai istilah sedulur papat limo pancer ini, namun karena keterbatasan
sumber dan waktu tidak dapat saya tulis satu per satu. Namun saya menyimpulkan
dalam kebudayaan jawa, keberadaan sedulur papat tersebut masih sangat lekat. Hal
ini terbukti dengan masih banyaknya bukti perlakuan kepada mereka ketika
seorang bayi lahir, seperti dengan memandikan ari-ari dan ketuban, menguburkannya
di samping rumah, memberikannya jenang abang, dan adanya bancakan yang
tujuannya untuk mendoakan keduanya. Saya tidak melihat ini sebagai salah satu
bid’ah atau ibadah yang salah (seperti menurut salah satu orang yang saya
wawancara) namun saya melihat ini sebagai sebuah ilmu budaya yang turun temurun
diberikan dari generasi ke generasi selanjutnya walaupun hanya melalui cara non
formal akan tetapi masih dipandang sebagai hal yang “wajib” dilakukan oleh
sebagian masyarakat Jawa.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar