Senin, November 19, 2012

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu 12 November 2012



Salah satu yang menarik bagi saya ketika perkuliahan bapak Prof. Marsigit pada hari Senin, 12 November 2012 adalah mengenai pendapat bapak tentang salah satu istilah dalam budaya Jawa yaitu kiblat papat limo pancer. Menurut yang saya bicarakan dengan salah seorang teman saya yang memang mengerti tentang budaya jawa (kejawen) istilah itu juga dikenal dengan sedulur papat limo pancer. Saya kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang istilah tersebut. Sehingga hal tersebut saya jadikan refleksi perkuliahan untuk minggu ini.
 
Orang jawa tradisional percaya akan eksistensi sedulur papat (saudara empat) yang selalu mendampingi seseorang di mana saja dan kapan saja selama orang itu masih hidup. Mereka diberikan tugas untuk menemani dan membantu kita. Adapun yang disebut sedulur papat adalah:

  1. KAKANG KAWAH: saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kita (bayi), tempatnya di timur warnanya putih (air ketuban).
  2. ADI ARI-ARI: adik ari-ari, dia keluar dari gua garba ibu setelah kita (bayi) , tempatnya di barat warnanya kuning (plasenta).
  3. GETIH: darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah.
  4. PUSER: pusar yang dipotong sesudah kelahiran kita (bayi), tempatnya di utara warnanya hitam.

Selain sedulur papat di atas, yang kelima pancer itulah badan jasmani kita. Merekalah yang disebut sedulur papat kelima pancer, mereka ada karena kita ada. Sementara orang mengatakan mereka kiblat papat lima tengah (empat jurusan yang kelima di tengah). Mereka berlima di lahirkan melalui ibu. Ada yang mengatakan bahwa dua dari keempat saudara kita (kakang kawah dan adi ari-ari) adalah saudara yang berkorban agar kita bisa ada di dunia ini. Sehingga bagi orang jawa ada perlakuan yang khusus untuk keduanya. Dalam kebudayaan jawa, dua saudara tersebut juga bersedia membantu kita jika kita memintanya dengan melakukan ritual-ritual khusus, seperti puasa mutih, tapa brata, dan menyepi.
Dalam pemikiran Jawa pengertian sedulur papat limo pancer mempunyai pengertian yang terus berkembang dari zaman pra-Islam hingga zaman Islam. Pengertian ini sebenarnya berkembang dengan adanya pengaruh agama Hindu. Sedulur papat dimaknai sebagai empat kiblat juga kemudian dimaknai sebagai unsur alam yang menjadi pembentuk raga manusia. Empat unsur tersebut adalah tanah (bumi), air, api, dan angin (udara). Sedang limo pancer adalah diri manusia itu sendiri. Ketika penyebaran agama Islam mulai masuk, menurut sebuah cerita Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan pengertian baru yang lebih bernafaskan Islam, sedulur papat adalah empat jenis nafsu dasar manusia, yaitu nafsu aluamah, sufiyah, amarah dan muthmainah. Limo pancer adalah hati nurani atau “alam rahsa/sirr”.
Nafsu aluamah berkaitan dengan insting dasar manusia, seperti nafsu untuk makan, minum, berpakaian, berhubungan badan dll. Dikatakan aluamah karena pengaruh unsur tanah yang menjadi unsur dasar manusia. Nafsu sufiyah berkaitan dengan nafsu keduniawian seperti keinginan akan harta benda. Nafsu sufiyah berpadanan dengan sifat udara yang selalu berusaha memenuhi ruang selagi ruang tersebut masih kosong. Nafsu amarah berkaitan dengan harga diri, rasa marah (emosi). Nafsu ini berkaitan dengan sifat panas dari api yang juga menjadi salah satu unsur pembentuk jasad manusia. Nafsu muthmainah adalah nafsu yang mengajak untuk berbuat kebaikan. Nafsu muthmainah berhubungan dengan sifat air yang menjadi unsur utama pembentuk jasad manusia.
Sebenarnya masih banyak pengertian mengenai istilah sedulur papat limo pancer ini, namun karena keterbatasan sumber dan waktu tidak dapat saya tulis satu per satu. Namun saya menyimpulkan dalam kebudayaan jawa, keberadaan sedulur papat tersebut masih sangat lekat. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya bukti perlakuan kepada mereka ketika seorang bayi lahir, seperti dengan memandikan ari-ari dan ketuban, menguburkannya di samping rumah, memberikannya jenang abang, dan adanya bancakan yang tujuannya untuk mendoakan keduanya. Saya tidak melihat ini sebagai salah satu bid’ah atau ibadah yang salah (seperti menurut salah satu orang yang saya wawancara) namun saya melihat ini sebagai sebuah ilmu budaya yang turun temurun diberikan dari generasi ke generasi selanjutnya walaupun hanya melalui cara non formal akan tetapi masih dipandang sebagai hal yang “wajib” dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa.
.