Selasa, Desember 18, 2012

Ujian Nasional haruskah dihapus?



Ujian Nasional, dihapus atau dipertahankan?
Sebuah refleksi (pertama) perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit.

Dalam perkuliahan filsafat ilmu tanggal 17 Desember 2012, kami mahasiswa pendidikan matematika kelas A PPS UNY 2012 membahas tentang hakikat UN antara tanggapan UN pantas dipertahankan atau harus dihapuskan berkaitan dengan direncakannya draft kurikulum 2013 untuk diterapkan di Indonesia.
Sebuah kata yang menggelitik saya dari apa yang disampaikan Prof adalah pendidikan sekarang adalah sebuah kewajiban atau kesadaran? Saya mencoba menelaah dan memberikan tanggapan saya atas hal tersebut.
Pendidikan sebagai kewajiban adalah pendidikan yang minimalis dan sangat dangkal dengan bertumpu pada nilai. Salah satunya adalah kelulusan yang didasarkan denan nilai UN. Yang sebenarnya adalah bentuk dari pelanggaran demokrasi Pancasila. Karena dengan menggunakan nilai sebagai acuan, maka esensi pengalaman, pemahaman, dan kemampuan anak tidak dapat terwakili. Salah satunya dengan bentuk soal pilihan ganda yang sangat riskan dengan resiko “keberuntungan”. Hal ini saya amini sebagai sebuah pelanggaran dalam demokrasi dan hak anak dalam melaksanakan pendidikan.
UN diselenggarakan dengan sebuah doktrin bahwa UN adalah sebuah kewajiban bagi anak yang ingin lulus.  Tanpa mengindahkan aspek bahwa UN dilakukan sesuatu yang harus dilakukan secara sadar sebagai salah satu indikator untuk menguji kemampuan siswa secara keseluruhan.  UN juga telah memaksakan bahwa siswa wajib menguasai indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan jarak yang cukup maka guru secara leluasa memberikan repetisi atas indikator-indikator yang telah ditentukan itu untuk “membiasakan” anak dengan soal-soal yang mungkin keluar pada UN sesungguhnya.
Tentang “membiasa”nya anak ini menurut saya adalah sesuatu yang mengerikan, salah satu indikator soal UN untuk SD adalah siswa dapat menentukan volume tabung dari suatu gambar tabung yang ukurannya diketahui. Bagi saya ini mengerikan, siswa menjadi terbiasa memahami bahwa tabung adalah sebuah gambar (yang terkadang tidak dapat mewakili hakikat tabung) sehingga menyempitlah pemahaman tabung dalam pikiran siswa.
Dengan doktrin wajib tersebut jelaslah perlunya pembenahan tentang UN, baik secara parsial maupun keseluruhan.  Dengan tidak mengurangi hormat saya terhadap para pengembang dan penyusun draft kurikulum 2013. Saya ingin membenarkan masukan dari Prof Marsigit tentang masukannya atas draft tersebut. Bahwasanya diperlukannya sistem yang mengembangkan kesadaran siswa tentang perlunya UN, tidak hanya mengajak siswa untuk mengetahui UN adalah proses yang menjadi wajib bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.  
Saya mendukung “PENGUBAHAN” UN menuju evaluasi yang lebih baik bagi adik-adik saya di tingkat dasar dan menengah. Marilah kita menjadi arif, dan mencoba menggugah kesadaran kita tentang segala sesuatu yang dialami oleh anak, adik, cucu, dan buyut kita. Berkatalah jika memang sesuatu yang ada tersebut tidak pas untuk mereka.
Tulisan ini murni refleksi yang saya lakukan setelah mengikuti perkuliahan prof Marsigit. Tidak mempunyai maksud untuk menyinggung, namun lebih menjadi masukan bagi pendidikan Indonesia. Saya juga sangat menginginkan masukan dari seluruh pembaca yang mungkin berkenan untuk berdiskusi tentang hal ini.
Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar